by: ranah mewarnai
Saat
ini RANAH sedang mengembangkan pengobatan penyakit kanker dengan metode terbaru
menggunakan terbaru menggunakan radioisotop. Salah satu senyawa yang
dikembangkan yaitu 131-MIRG (131-Metaiodobenzylguanidine) yang diuji bertarget
spesifik untuk diagnosis dan terapi kanker neuroblastoma. Namun para dokter
masih mempertanyakan terkait keamanan dan efektifitas senyawa yang ditemukan
tersebut.
Radionuklida
atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. radionuklida mampu
memancarkan radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja
dibuat oleh manusia dalam reaktor penelitian.
Neuroblastoma
adalah jenis kanker langka yang berkembang dari neuroblast atau sel-sel
saraf yang belum matang pada anak-anak. Pada kasus neuroblastoma, neuroblast yang seharusnya
tumbuh dan berfungsi sebagai sel saraf justru membentuk benjolan berupa tumor
padat.
Neuroblastoma
lebih sering terjadi pada salah satu kelenjar andrenal di atas ginjal, atau pada
jaringan saraf tulang belakang yang membentang dari leher, dada,
perut, hingga panggul. Penyakit kanker langka ini dapat menyebar dengan
cepat ke organ lain, seperti sumsum tulang, kelenjar getah bening, tulang,
hati, serta kulit. Sebagian besar kasus neuroblastoma terjadi pada anak-anak
usia 5 tahun ke bawah.
“Sungguh ajaib
keadaan orang-orang mukmin, seluruh urusannya adalah kebaikan, dan tidak ada
umat lain yang mendapatkan keadaan seperti ini kecuali orang-orang mukmin,
Sesungguhnya jika mereka mendapat kesenangan lalu mereka bersyukur, maka ini
sebuah kebaikan. Dan jika mereka ditimpa musibah lantas mereka bersabar, maka ini juga sebuah
kebaikan”. [HR. Muslim no. hadits 2999; Shahih Ibnu Hibban no. hadits
2896]
“Katakanlah:
Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”
(Q.S.
Al-zumar, 39:9)
“niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan” (Q.S. al-Mujadillah, 58:11)
3
cara yang umum dilakukan untuk mengobati kanker adalah: operasi, kemoterapi dan terapi radiasi.
Tumor dapat dibuang secara langsung melalui
operasi, terutama pada stadium dini untuk beberapa kanker. Ini biasanya
dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk mengurangi jumlah sel kanker
pada tubuh.
Kemoterapi adalah penggunaan obat-obatan untuk
menghancurkan atau membatasi pertumbuhan sel-sel kanker. Seringkali disebut
sebagai “kemo”, ia juga digunakan untuk membersihkan sel-sel kanker yang masih
tersisa pada tubuh pasien setelah menjalani operasi atau terapi radiasi. Bila
kemoterapi tidak dilakukan, sel-sel kanker yang telah menyebar ke bagian lain dalam
tubuh dapat terus berkembang dalam tubuh pasien. Hal ini akan menyebabkan
penyakit kambuh kembali pada bagian tubuh yang berbeda dan seringkali muncul
sebagai kanker stadium lanjut.
Kemoterapi juga cukup merugikan karena banyak efek
samping yang mungkin terjadi, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Ini meliputi hilangnya nafsu makan, mual, timbulnya luka, kelelahan, rambut
rontok, diare dan kerusakan saraf.
Terapi radiasi adalah penggunaan radiasi untuk
membunuh sel-sel kanker pada area kecil yang ditargetkan. Terapi ini juga dapat
digunakan untuk memperkecil tumor sehingga kemudian dapat dibuang melalui
operasi.
Pilihan pengobatan yang ideal dipilih berdasarkan
lokasi tumor, stadium kanker dan faktor lainnya yang terkait dengan pasien.
Dokter dapat merekomendasikan penggunaan strategis dari pengobatan kemoterapi
untuk membunuh sel-sel kanker, suatu kombinasi antara kemoterapi dan terapi
radiasi untuk mencegah kanker menyebar ke bagian tubuh lainnya atau cara
kombinasi yang lain.
Dengan kemajuan di bidang medis belakangan ini,
kami menawarkan pengobatan seperti Terapi Radiasi Intensitas Termodulasi
(IMRT), yang dapat menargetkan radiasi dosis tinggi langsung pada sel-sel
kanker, sementara jaringan sehat di sekitarnya terpapar seminimal mungkin, sehingga
menghasilkan pengobatan yang lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit.
Ilmu Kedokteran
Nuklir merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mandiri terpisah dari
spesialisasi lain. Teknologi ini memanfaatkan sumber radiasi terbuka yang berasal
dari disintegrasi inti radionuklida (radioisotop) buatan untuk tujuan
diagnostik melalui pemantauan proses fisiologi dan biokimia, pengobatan dan
juga penelitian di bidang kedokteran. Pelayanan kedokteran Nuklir merupakan
pelayanan yang bersifat multidisipliner, karena dalam pelaksanaannya melibatkan
berbagai disiplin ilmu yaitu ilmu kedokteran, instrumentasi dan radiofarmasi.
Penggunaan dan jenis
radiofarmaka dalam bidang Kedokteran Nuklir di Indonesia berkembang secara
terus‐menerus. Radiofarmaka biasanya diformulasi sebagai
sediaan injeksi yang steril dan apirogenik, diberikan kepada pasien untuk
tujuan diagnostik atau terapi. Dalam keadaan ini radiofarmaka tidak berbeda
dengan obat parental konvensional dalam persyaratan kemurnian, keamanan dan manfaatnya.
Dengan demikian, semua produk radiofarmaka harus melalui perlakuan kendali mutu
yang ketat. Standar mutu dan standar kemurnian harus ditetapkan dan produk ini
harus diuji untuk menjamin kesesuaiannya terhadap standar tersebut.
Perbedaan utama antara radiofarmaka dengan obat
konvensional
terletak pada umur pakai produk
radioaktif yang sangat pendek (singkat) dibandingkan dengan sediaan injeksi konvensional
biasanya beberapa tahun. Undang‐ Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebut UU Kesehatan merupakan
kaidah hukum yang mengatur mengenai hukum kesehatan masyarakat secara umum dan
mengatur beberapa aspek dalam hukum kedokteran, pengamanan sediaan
farmasi dan alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan.
Untuk
mengawasi pemanfaatan
tenaga nuklir (termasuk pengawasan penggunaan sumber radiasi di
Kedokteran Nuklir) telah diatur dalam Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran, oleh karena sifat tenaga nuklir selain dapat memberikan
manfaat juga dapat menimbulkan bahaya radiasi sehingga setiap kegiatan yang berkaitan
dengan tenaga nuklir harus diawasi dan diatur oleh Pemerintah. Asas keamanan
penggunaan obat adalah memberikan jaminan keamanan dalam penggunaan, pemakaian
dan pemanfaatan obat yang dikonsumsi atau digunakan oleh pasien. Hal ini
tersirat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998
tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pasal 2 berbunyi:
“Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan”.
Dalam Undang‐Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, pada Pasa 11
ayat (4) berbunyi Pemanfaatan adalah kegiatan yang berkaitan dengan tenaga
nuklir yang meliputi penelitian, pengembangan, penambangan, pembuatan,
produksi, pengangkutan, penyimpanan limbah radioaktif untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan penggunaan senyawa bertanda
radioaktif (radiofarmaka) sebagai obat adalah sejalan dengan upaya pemerintah dalam
pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan. Zat
radioaktif menurut Undang‐undang yang sama ayat
(9) pada pasal yang
sama menyatakan setiap zat yang memencarkan radiasi pengion dengan aktivitas
jenis lebih besar dari pada 70 kBq/kg (2 nCi/g). Berdasarkan pasal di atas
bahwa tujuan akhir dari pemanfaatan radiasi berupa senyawa bertanda
radionuklida (radiofarmaka) adalah untuk mensejahterakan rakyat. Hal ini
dikarenakan radiofarmaka banyak dimanfaatkan untuk berbagai diagnosa penyakit
dan juga untuk pengobatan.
Radiofarmaka yang
banyak digunakan untuk tujuan diagnostik di pelayanan Kedokteran Nuklir di
seluruh Indonesia adalah farmaka yang bertanda radionuklida yang dihasilkan
dari generator 99Mo/99mTc berupa senyawa teknesium‐99m.
Radionuklida ini memiliki sifat fisika dan kimia yang ideal untuk tujuan
diagnostik. Tujuan pengobatan atau
terapi radiasi internal dengan radiofarmaka adalah untuk kuratif yaitu
menghilangkan (eradikasi) tumor pada daerah lokal dan kelenjar getah bening
regional, dengan tujuan meningkatkan angka kelangsungan hidup dengan
meningkatnya kontrol lokal, terutama dilakukan pada kanker ukuran kecil. Tujuan
kedua adalah paliatif yaitu untuk menghilangkan gejala yang ada dengan harapan
dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Biasanya diberikan pada kanker
stadium lanjut, misalnya untuk menghilangkan nyeri pada kanker yang telah
menyebar pada tulang. Berbagai jenis radionuklida banyak digunakan untuk terapi
antara lain larutan NaI‐131 untuk terapi karsinoma tiroid atau 89Sr (strontium)
untuk terapi paliatif pada metastasis tulang. Sama seperti halnya generator
99Mo/99mTc, larutan NaI‐131 untuk pengobatan tiroid yang banyak di gunakan
dipelayanan kedokteran nuklir disuplai dari PT. BATAN TEKNOLOGI.
Perkembangan
radiofarmaka untuk tujuan terapi maupun diagnosis semakin luas ketika kemudian
diketahui adanya fenomena baru dalam mekanisme lokalisasi sediaan radiofarmaka
di dalam tubuh. Lokalisasi radiofarmaka pada organ target tidak hanya
berdasarkan proses fisiologis dan metabolisme biasa, tetapi beberapa jenis
anomali organ dapat memberikan ”sinyal” yang dapat menarik, mengakumulasi dan
menahan
secara spesifik
senyawa substrat tertentu, sehingga radiofarmaka dengan struktur substrat
tersebut akan terlokalisasi pada organ target secara spesifik pula. Tulisan ini
mengelompokkan secara sederhana mekanisme lokalisasi radiofarmaka pada organ
target ke dalam 2 kelompok, yaitu mekanisme non-spesifik yaitu mengikuti
fisiologis dan metabolisme secara normal, dan mekanisme spesifik yang dapat
dibedakan lagi menjadi mekanisme spesifik proses yang berbasis pada reaksi
biokimia yang karakteristik dan mekanisme spesifik penyakit yang berbasis pada
karakteritika penyakit yang tertentu.
Seiring dengan
perkembangan dan tuntutan kebutuhan di bidang kedokteran nuklir, berbagai macam
sediaan radiofarmaka produk domestik juga berhasil dibuat dan digunakan untuk
tujuan diagnosis maupun terapi. Banyak yang telah dimanfaatkan sesuai
peruntukannya, dan beberapa yang lain masih dalam taraf uji klinis atau uji
preklinis sebelum dapat di lepas secara luas di lingkungan pihak pengguna.
Perkembangan radiofarmaka semakin luas ketika kemudian diketahui adanya
fenomena baru dalam mekanisme akumulasi
sediaan radiofarmaka di dalam tubuh. Mekanisme akumulasi radiofarmaka
ternyata tidak hanya melalui proses metabolisme dan fisiologi normal dengan
mengikuti sistem aliran darah, tetapi juga dapat melalui reaksi biokimia
spesifik antara substrat radiofarmaka dengan sistem biomolekuler pada jaringan
target yang mengalami kanker atau inflamasi. Reaksi biokimia spesifik ini dapat
berupa, misalnya, reaksi imunologi antigen – antibodi, reaksi enzim – substrat
ataupun reaksi ligan – reseptor. Beberapa jenis anomali organ dapat memberikan ”sinyal”
yang dapat secara spesifik menarik, menangkap dan menahan secara spesifik
senyawa substrat tertentu, sehingga radiofarmaka dengan struktur substrat
tersebut akan terlokalisasi pada anomali organ secara spesifik pula.
Dengan adanya fenomena
akumulasi yang spesifik ini, maka tindakan terapi radiomedik dapat dilakukan
dengan lebih akurat karena potensi penyebaran radiofarmaka pada jaringan
non-target dapat lebih diminimalkan. Di sisi lain untuk kepentingan diagnosis
juga terjadi perkembangan paradigma diagnosis yang signifikan, dari yang paling
sederhana untuk penyidikan morfologi dan anatomi organ, fungsi fisiologis
jaringan, studi perfusi dan arteri koroner sampai fenomena molekuler biokimia
dan immunologi.
LOKALISASI
RADIOFARMAKA
Yang dimaksud dengan
lokalisasi radiofarmaka adalah pengumpulan atau akumulasi radiofarmaka di dalam
organ tubuh tertentu setelah radiofarmaka tersebut dimasukkan ke dalam tubuh, baik
secara oral maupun injeksi. Pemahaman mengenai fenomena dan mekanisme lokalisasi
ini diperlukan agar efek keradioaktifan sediaan radiofarmaka yang dimasukkan ke
dalam tubuh dapat dibatasi hanya pada jaringan atau organ tubuh yang
dikehendaki saja.
Mekanisme lokalisasi memberikan konsekuensi
akumulasi atau penangkapan radiofarmaka dalam organ dapat terjadi dalam 3 kemungkinan
berikut ini :
1. Radiofarmaka
terakumulasi pada jaringan target normal
Dalam hal jaringan
target normal tidak dipengaruhi oleh keadaan patologis yang tertentu, maka
radiofarmaka yang mengalami metabolism atau proses fisiologis normal akan
terakumulasi pada jaringan target tertentu secara otomatis mengikuti proses
fisiologis yang semestinya. Jaringan target yang mengalami gangguan atau anomali
dari keadaan normal tidak dapat mengakumulasi radiofarmaka sebagaimana mestinya.
Di sisi lain, bila jaringan target normal dipengaruhi oleh keadaan patologis
(disekitarnya) maka keadaan patologis tersebut menimbulkan reaksi internal
dalam jaringan targert normal sebagai upaya tubuh untuk melindungi diri dari pengaruh
keadaan patologis tersebut. Reaksi internal tersebut mengakibatkan akumulasi
yang lebih kuat pada jaringan target normal.
MEKANISME SPESIFIK PROSES
Mekanisme spesifik
proses terjadi karena molekul senyawa radiofarmaka mempunyai struktur dengan
gugus aktif tertentu yang dapat berikatan secara spesifik dengan molekul
penyusun atau yang terikat pada permukaan jaringan target. Pada Gambar dibawah
ditunjukkan ilustrasi fenomena lokalisasi radiofarmaka berbasis mekanisme
spesifik proses ini.
Pada permukaan
jaringan target yang mengalami kanker atau inflamasi terbentuk membran dengan
struktur gugus aktif yang spesifik dapat membentuk ikatan dengan gugus aktif
spesifik yang sesuai yang ada pada struktur senyawa substrat radiofarmaka.
Radiofarmaka semacam ini sering disebut sebagai radiofarmaka molekul target
terarah. Radionuklida yang digunakan dapat berupa radionuklida non-metal
(misalnya 11C, 18F, 123I, 131I, 211At), dapat juga berupa radionuklida metal (misalnya
67Cu, 90Y, 99mTc, 177Lu, 188Re). Seringkali substrat yang berupa makromolekul
(seperti protein) tidak mudah untuk berikatan dengan radiometal, sehingga
diperlukan sejenis senyawa ligan gugus fungsi ganda (bifunctional chelate)
dan/atau senyawa sejenis linker yang berfungsi sebagai jembatan penghubung
yang mengikat radionuklida dan molekul substrat (Gambar diatas).
Mekanisme lokalisasi
spesifik proses ini terjadi melalui interaksi immunologi atau reaksi biokimia
antara molekul substrat radiofarmaka dengan struktur kimia membrane jaringan
target yang patologis, misalnya reaksi pembentukan komplek antigen – antibody,
enzim-substrat, ligan – reseptor, yang tidak larut dan kemudian mengendap pada
membrane jaringan patologis. Berikut ini diberikan beberapa contohnya.
a). Radiofarmaka
111In-Oncoscint mempunyai struktur monoklonal antibody yang spesifik untuk
antigen TAG-72.3, suatu glikoprotein pada kanker kolorektal dan kanker ovarium.
Karena itu radiofarmaka ini digunakan sebagai radiofarmaka molekul target
terarah untuk kedua jenis kanker tersebut [19,20].
b). Radiofarmaka
111In-Oktreotida mempunyai basis struktur somatostatin yang berikatan secara spesifik
dengan reseptor tumor neuroendokrin digunakan untuk diagnosis adanya kanker
neuroendokrin tersebut [9,13, 22].
c). Radiofarmaka
111In/90Y-Ibritumomab-tiuxetan dan 131I-Tositumomab mengandung struktur monoklonal
murine IgG antibody yang berikatan secara spesifik dengan reseptor CD20 pada
sel tumor lymphoma-non-Hodgkin, sehingga banyak digunakan untuk diagnosis atau
terapi tumor jenis tersebut [9].
d). Radiofarmaka
123I-Ioflupane mempunyai struktur kimia turunan dari kokain dan berikatan
secara spesifik dengan transporter dopamine pada
jaringan striatum (caudate
nuclei and putamen). Penurunan densitas dopamine pada jaringan tersebut,
misalnya pada kasus penyakit Parkinson, akan menghasilkan penurunan atau pelemahan
citra dibandingkan dengan keadaan normal [9].
d). Tahapan uji
klinis beberapa jenis radiofarmaka baru yang berdasarkan mekanisme lokalisasi pembentukan
komplek ligan - reseptor telah dan sedang dilakukan di beberapa negara untuk diagnosis
penyakit Alzheimer (berkaitan dengan anomali pada otak). Beberapa jenis radiofarmaka
memberikan prospek baik karena menunjukkan pengikatan yang spesifik terhadap reseptor
-amiloid pada membrane otak yang merupakan indikasi positif penyakit
Alzheimir, antara lain [9] 18F-Florbetapir (AV-45), 11C-PiB (Pittsburg-B),
18F-Flutemetamol (Fluoro-PiB).
MEKANISME
SPESIFIK PENYAKIT
Fenomena lokalisasi
dengan mekanisme spesifik penyakit terutama terjadi pada penyakit kanker,
infeksi jaringan, atau peradangan nonbacterial. Akumulasi melalui mekanisme
spesifik penyakit dapat terjadi karena :
1.
Organ
patologis mengalami perubahan karakter metabolisme yang menyebabkan organ
patologis secara spesifik menangkap radiofarmaka lebih kuat (atau lebih banyak)
dari pada jaringan yang normal
2.
Senyawa
substrat radiofarmaka merupakan indikator prognosis penyakit yang tertentu,
misalnya beberapa jenis kanker mempunyai indicator prognosis yang spesifik,
yang berbeda dengan jenis kanker yang lain.
3.
Peningkatan
permiabilitas pembuluh darah kapiler pada jaringan patologis yang meningkatkan
proses transport substrat radiofarmaka ke dalam sel/jaringan patologis tersebut.
Berikut ini diberikan
beberapa contoh lokalisasi melalui mekanisme spesifik penyakit :
a). Kanker tulang
metastasis. Jaringan tulang yang mengalami metastasis
kanker mengalami
peningkatan aktifitas osteoblastik yang menyebabkan terjadinya peningkatan
akumulasi senyawa radiofarmaka fosfat/posponat seperti misalnya 186Re-HEDP,
153Sm-EDTMP, 99mTc-MDP, sehingga daerah metastasis terlihat sebagai hot spot
area.
b). Senyawa sestamibi
merupakan faktor prognostic kanker payudara.
Pemberian
radiofarmaka 99mTc-Sestamibi pada pasien kanker payudara akan memberikan hot
spot area pada daerah kanker [15,16]. Mekanisme lokalisasi
9o9mTc-Sestamibi pada kanker payudara ini berbeda dengan lokalisasi 99mTc-Sestamibi
pada jenis kanker lainnya. Dalam hal yang terakhir ini, radiofarmaka
99mTc-Sestamibi, yang secara normal akan terakumulasi dalam mitokondria,
tertangkap lebih banyak pada sel kanker dari pada sel normal sebab sel kanker
memiliki mitokondria yang jauh lebih banyak dibandingkan sel normal.
c). Pada jaringan
yang mengalami inflamasi (radang) cenderung menunjukkan karakter peningkatan permiabilitas
pembuluh kapiler terhadap senyawa makromolekul. Hal ini mengakibatkan akumulasi
radiofarmaka makromolekul pada jaringan yang mengalami peradangan. Berbagai senyawa
makromolekul (albumin, fibrinogen, atau gamma globulin) bertanda 67Ga, 111In
atau 99mTc, banyak digunakan untuk deteksi inflamasi jaringan.
Survey secara
komprehensif pada epidemiologi tumor neuroendokrin berdasarkan National Cancer Institute di
Amerika menunjukkan adanya peningkatan insiden tumor neuroendokrin (NET).
Tumor
neuroendokrin (NET) merupakan neoplasma yang muncul dari sel-sel endokrin
(hormon) dan sistem syaraf. Kebanyakan jinak, tetapi juga ada yang ganas.
Sering terjadi di usus, yang disebut dengan tumor karsinoid, tetapi dapat
ditemukan di pankreas, paru-paru dan di seluruh tubuh. NET pada usus halus
pertama kali dibedakan dengan tumor lain pada tahun 1907 dan diberi nama tumor
karsinoid karena pertumbuhannya yang lambat dan dianggap “seperti kanker”.
Metaiodobenzylguanidine
(MIBG) dikembangkan di universitas Michigan pada tahun 1970an sebagai agen
pencitraan adrenal medulare. MIBG sangat baik diserap oleh tumor
yang memproduksi katekolamin, dan kemudian
telah digunakan terutama untuk deteksi pheochromocytoma, neuroblastoma, dan
neuroendokrin tumor lainnya.
Meskipun perkembangan metode lain
seperti somatostatin reseptor (SSTR),
18F-FDG PET dan analog MIBG lainnya sangatlah pesat, MIBG diharapkan
masih merupakan salah satu pilihan yang dapat digunakan dalam pencitraan dan
terapi neuroblastoma.
MIBG
Sejarah
Metaiodobenzylguanidine
(MIBG) dikembangkan di universitas Michigan pada tahun 1970an sebagai agen
pencitraan adrenal medulare. MIBG sangat baik diserap oleh tumor
yang memproduksi katekolamin, dan kemudian
digunakan untuk deteksi pheochromocytoma, neuroblastoma, dan
neuroendokrin tumor lainnya.
Pada pengembangan awal, MIBG ditemukan berkonsentrasi pada organ-organ yang
memiliki persarafan simpatis,terutama
hati.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa uptake MIBG jantung sangat tergantung pada viabilitas dan aktifitas syaraf simpatik.
Kimia dan
pelabelan MIBG
Berdasarkan studi
selama ini, MIBG berhubungan dengan butiran
chromaffin adrenal, terutama guanetidine. Guanetidine, tidak bisa dengan mudah diberi label dengan
radionuklida pada pencitraan eksternal jantung. Sehingga, analog guanetidine disintesis yang memungkinkan mudah pelabelan dengan radionuklida. Substitusi dari cincin aromatik untuk cincin heterosiklik jenuh dari
guanethidine
memungkinkan untuk pelabelan
dengan senyawa yodium. Satu senyawa tersebut adalah benzylguanidine, yang mempertahankan bagian
guanidin dari guanethidine.
MIBG merupakan benzylguanidine berlabel dalam
meta-posisi. Senyawa ini memiliki kemiripan struktural dengan norepinefrin. Prosedur yang
paling umum untuk radiolabeling MIBG adalah metode pertukaran yodium panas. Nonradioactive MIBG sulfat (MIBG2SO4, berat molekul 648) dipanaskan dengan adanya amonium sulfat
dan radioiodine (natrium iodida), sehingga terjadi pertukaran yodium stabil untuk radioiodine. Pencitraan dengan menggunakan 123I
dilabel dengan MIBG.
MIBG merupakan
kombinasi antara kelompok bretylium dan kelompok guanidine. Berkembang sejak
awal tahun 1980 untuk melihat tumor
adrenal medulare.
Aralkylguanidine
ini secara struktur analog dengan norepinefrin dan guanethidine, dan sering
disebut dengan “false” neurotransmitter. Struktur MIBG menyerupai norepineprin,
yaitu dapat memasuki sel-sel neuroendokrin melalui mekanisme uptake aktif dan disimpan di pabrik
neurosekret, sehingga konsentrasi tertentu
berbeda dengan sel-sel jaringan lainnya. Mekanisme transpor MIBG hampir sama dengan
norepinefrin. Dari sitoplasma intracelluler, MIBG ditransfer ke vesikel
penyimpanan katekolamin (neurosecretory
vesicles) melalui norepinephrine
transporter yang di mediasi oleh pompa proton
ATPase-dependent. Pada dosis yang
lebih tinggi dapat terjadi difusi pasif. MIBG yang telah masuk ke dalam
sitoplasma sel tetap berada dalam bentuk bebas. Retensi MIBG merupakan akibat
dari ambilan ulang perunut yang tadinya terlepas dari sel. Untuk pencitraan,
MIBG ini dapat dilabel dengan 131I
dan 123I, sedangkan untuk terapi menggunakan 131I.
Mekanisme
norepinefrin dan uptake MIBG
Uptake MIBG pada berbagai jaringan mirip
dengan norepinefrin. Mekanisme uptake
norepinefrin telah disempurnakan
selama beberapa dekade terakhir, dan tampaknya bahwa protein transport membran
plasma
dan transporter norepinefrin, memediasi serapan spesifik
norepinefrin oleh jaringan adrenergik. Setelah masuk ke sitoplasma,
transporter vaskuler monoamine, terletak di membrane vesikel, menghantarkan
norepinefin ke penyimpanan vesikel adrenergik.
123I dan 131I
125I tidak digunakan karena energi sinar x dan
emisi sinar gamanya yang rendah (27 sampai 35 keV), tidak menembus jaringan
dengan baik, dan kamera gama kurang baik untuk pencitraan dengan energi yang
rendah. Dua isotop iodium yaitu 123I dan 131I secara
klinis digunakan untuk pencitraan. 123I memancarkan sinar gamma
murni dengan waktu paruh 13.2 jam, memancarkan energi photon 159 keV dan
meluruh dengan memancarkan elektron menjadi tellurium-123 (123Te).
Emisi proton 28 keV (92%) dan 159 keV (84%) sinar gamma, sesuaixx dengan energi
terbaik gamma kamera (100-200 Kev). Oleh karena itu 123I merupakan radioisotop pilihan karena lebih
sensitif dan hasil pencitraan lebih
baik dibandingkan 131I.14 123I biasanya
diproduksi oleh siklotron dengan bombardment
antimony-121 (121Sb) atau tellurium-122 atau 124 (122Te
atau 124Te). Metode lain dengan bombard
iodium-127 (127I) untuk memproduksi 123Xe dan
membiarkannya meluruh menjadi 123I.
131I merupakan
isotop yang kurang memuaskan untuk pencitraan tiroid karena energy photon yang
relative tinggi. Namun, 131I ini banyak tersedia, relatif murah dan
memiliki waktu paruh yang panjang. 131I mempunyai waktu paruh 8.06
hari dan meluruh dengan memancarkan partikel
emisi beta menjadi stabil membentuk 131Xe. Rata-rata enegi
betanya 192 keV (90%).
Sembilan puluh
persen emisi radiasi pengion 131I berasal dari sinar beta, memiliki
jarak radiasi 0.5 mm. MIBG 131I digunakan untuk terapi, karena
merupakan β emitter dan memiliki waktu paruh lebih panjang yaitu 8 hari. Selain
itu I-131 mempunyai LET (linear energy transfer) β emitter rendah. Dengan
demikian mempunyai efek biologi lebih panjang sehingga dapat mengakibatkan
kematian sel. MIBG secara normal ditangkap terutama oleh hati, uptake terlihat lebih rendah pada limpa,
paru-paru, kelenjar saliva, otot skeletal dan miokardium. Pada bayi, uptake pada miokard mungkin sangat
tinggi.
Saat
iodium di masukkan secara oral sebagai ion iodium, lalu di absorbs dari traktus
gastrointestinal dan didistribusikan kedalam cairan ekstraseluler. Sama dengan 99mTc pertechnetate, 131I terkontaminasi di kelenjar ludah, tiroid dan mukossa lambung. 131I
difiltrasi di glomerulus, di ekskresi di urin sebanyak kurang lebih 35% sampai
75% dalam 24 jam, walaupun ekskresi fekal juga terjadi. Iodium di tangkap dan
di organifikasi di kelenjar tiroid normal mempunyai waktu paruh efektif sektiar
7 hari.
Distribusi
fisiologi 131I/123I MIBG
Uptake radiofarmaka
MIBG pada berbagai organ tergantung ekskresi katekolamin dan atau persyarafan
adrenergik. Setelah injeksi intravenosa, 50 % radiofarmaka yang masuk akan
masuk ke urin dalam waktu 24 jam, dan 70%-90% sisanya akan masuk ke urin dalam
waktu 48 jam. Pada saat MIBG diekskresikan di dalam urin, kandung kemih dan
saluran kencing menunjukkan aktivitas yang tinggi. MIBG normalnya tertangkap di
liver, sebagian di spleen, paru-paru, glandula saliva, tiroid otot dan jantung.
Glandula adrenal normalnya tidak terlihat, tetapi uptake
samar dapat terlihat 48-72 jam setelah injeksi hingga 15%
dari kasus.
MIBG dapat terakumulasi di dalam mukosa nasal, paru-paru, kandung kemih, colon,
dan uterus. Iodium bebas di dalam darah dapat dikarenakan beberapa penyerapan
di dalam sistem digestif, dan juga di tiroid (jika tidak diblok). Tulang
normalnya tidak terlihat, ini menjadi penting disaat penangkapan di tulang
(fokal atau difus) terjadi, mengindikasikan keterlibatan sum-sum tulang dan
atau metastasis tulang. Beberapa efek samping MIBG harus diperhatikan setelah
penyuntikan seperti takikardi, pucat,
muntah, dan nyeri abdomen.
Persiapan sebelum
pencitraan
1)
Persiapan pasien
Teknologis, perawat atau dokter sebaiknya
memberi tahu orang tua pasien atau pasiennya penjelasan tentang persiapan yang
benar dan pemeriksaan skintigrafi yang jelas. Pastikan pasien mendapatkan
hidrasi yang cukup untuk memfasilitasi ekskresi radiofarmaka. Pasien berhenti
mengonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi penangkapan MIBG oleh
tumor.
2)
Thyroid blockade
Saat menggunakan 131I-MIBG, blokade
tiroid diperoleh dengan pemberian oral harian jenuh kalium yodium 3 kali sehari
untuk total 5 hari dimulai sebelum gpemberian radiofarmaka. Bila menggunakan 123I-MIBG
maka pemberian oral kalium iodium jenuh dapat dikurangi menjadi 3 hari, 3 kali
sehari. Pasien yang alergi dengan iodium dapat digunakan potassium perchlorate
(3 kali sehari) dimulai 1 hari sebelum injeksi dan diteruskan 3 hari setelah
pemberian 123I-MIBG.
3)
Interaksi obat
Banyak obat yang dikenal
untuk mengganggu penyerapan dan atau
penyimpanan vesikular dari 131I / 123I MIBG. Perawatan harus
dilakukan untuk memastikan bahwa obat tersebut dihentikan (jika mungkin) untuk
waktu yang cukup sebelum pencitraan. tentu saja hal ini harus diputuskan dengan konsultasi
dokter merujuk yang mampu mengevaluasi kondisi pasien dan
mungkin dapat
di tunda pencitraannya. Daftar berikut termasuk beberapa obat yang paling penting yang dapat
mempengaruhi hasil pencitraan MIBG.
Selain obat-obatan
di atas, pasien juga harus menghindari makanan yang mengandung vanillin dan
katekolamin seperti coklat dan blue-veined cheese yang akan mengganggu uptake MIBG (depletion of granules).
4)
Sebelum injeksi
Dokter kedokteran nuklir harus mempertimbangkan informasi yang dapat berguna
untuk menafsirkan gambar pencitraan, seperti :
Riwayat kecurigaan adanya tumor primer
Gangguan asupan obat
Ada atau tidaknya gejala
Hasil uji laboratorium
Hasil pencitraan lain
Hasil biopsy, bedah, kemoterapi dan radiasi
5)
Injeksi
MIBG diberikan berlahan-lahan secara
injeksi intravena (dalam waktu 5 menit) di vena perifer. Penyuntikan melalui
vena sentral harus dihindari karena akan menimbulkan artefak pada pencitraan
dan dapat menimbulkan efek samping. Dosis aktivitas untuk orang dewasa 131I-MIBG
40-80 MBq (1.2-2.2 mCi); untuk 123I-MIBG 400 MBq (10.8 mCi). Dosis
untuk anak-anak harus dihitung berdasarkan dosis referensi orang dewasa menurut berat badan yang
diusulkan oleh EANM Paediatric Task Group.
Untuk batas minimum dan maksimum dosis yang dianjurkan pada anak-anak menurut
pedoman EANM Paediatric Task Group (aktivitas minimum 80 MBq untuk 123I
MIBG dan 35 MBq untuk 131I-MIBG; aktivitas maksimum 400 MBq untuk 123I MIBG dan 80 MBq untuk 131I-MIBG.
6)
Pasca-injeksi
Pasien sebaiknya
minum air putih dalam jumlah besar setelah injeksi MIBG.
Pencitraan
123I/131I MIBG
Pemeriksaan MIBG dilakukan untuk :
a)
mengevaluasi pasien yang mungkin akan diterapi
menggunakan 131I MIBG pada
pasien tumor neuroedokrin.
b)
memberikan informasi sebelum dilakukan terapi.
Menggunakan
123I MIBG pencitraan dilakukan 20-24 jam setelah injeksi.
Pencitraan
tertunda (dalam 48 jam) berguna dalam kasus-kasus penemuan equivokal. Dengan 131I
MIBG, pencitraan dilakukan biasanya dalam 48 jam pasca-injeksi dan dapat
dilanjutkan pada hari ke-3 dan seeterusnya.
Metode Pencitraan
1.
Menggunakan gamma kamera dengan satu detektor atau lebih , dengan lapang
pandang yang luas untuk memperoleh pencitraan
planar dan/atau SPECT.
Pencitraan fusion with SPET/CT sistem
hybrid dapat meningkatkan akurasi diagnostik.
2.
Kollimator yang digunakan :
-
131I MIBG : high-energy,
parallel-hole
-
123I MIBG : low- energy,
high-resolution
3.
Ukuran piksel sekitar 2 mm memerlukan matriks 256 × 256 atau 128 × 128.
Interpretasi :
Untuk mengevaluasi pencitraan MIBG,
hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
1.
Riwayat klinis yang menyebabkan pasien dirujuk untuk pencitraan MIBG.
2.
Gejala dan sindrom.
3.
Pemeriksaan sebelumnya seperti pemeriksaan klinis, biokimia dan morfologi.
4.
Peningkatan uptake fisiologis difus
(kelenjar adrenal hiperplastik setelah adrenalectomy kontralateral) dan uptake fisiologis fokal (di saluran
kemih atau usus).
5.
Uptake patologis sebagai tumor primer dan metastase di
kelenjar getah bening, hati, tulang dan sumsum tulang.
6.
Penyebab negatif palsu (ukuran lesi, ekspresi norephineprine rendah, metastase
SSP, tumor kecil disumsum tulang, ambilan fisiologis yang menutupi lesi kanker,
pengaruh obat-obatan).
7.
Penyebab positif palsu (artefak, dan uptake fisiologis).
Terapi 131I MIBG
MIBG yang dilabel dengan 131I
dapat digunakan sebagai agen metabolik radioterapi pada tumor neuroectodermal. 131I
adalah radionuklida beta-emitting dengan waktu paruh 8,04
hari, mempunyai sinar gamma 364 keV dan
partikel beta dengan energi maksimum 0,61 MeV dan energi rata-rata 0,192 MeV.
Indikasi Terapi 131I
MIBG
:
1.
Pasien phaeochromocytoma yang tidak dapat di operasi.
2.
Pasien paraganglioma yang tidak dapat di operasi.
3.
Pasien carcinoid tumor yang tidak dapat di operasi.
4. Stage
III atau IV neuroblastoma.
5.
Metastatis atau rekurensi kanker tiroid medular.
Kontra-indikasi
:
Kontra-indikasi absolut :
1.
Kehamilan; menyusui.
2.
Harapan hidup kurang dari 3 bulan, kecuali kasus dengan nyeri tulang yang
hebat.
3.
Insufisiensi ginjal.
Kontra-indikasi relatif :
1.
Pasien tidak bisa diisolasi karena alasan risiko medis.
2.
Inkontinensia urin.
3.
Glomerular filtrasi ginjal kurang dari 30 ml / menit.
4.
Toksisitas darah dan / atau ginjal karena pengobatan sebelumnya.
5.
Myelosupresi: - Sel darah putih
kurang dari 3.0 × 109 / l
- Trombosit kurang dari 100 × 109 / l
- Trombosit kurang dari 100 × 109 / l
Apabila jumlah sel darah putih dan
trombosit rendah, adanya invasi sumsum tulang secara masif dan gangguan fungsi
ginjal, aktivitas dosis harus dikurangi.
Persiapan pasien
:
1.
Inform consent
Pada anak-anak yang akan menjalani
terapi 131I MIBG, harus ada pengasuh yang akan berperan dalam
perawatan. Dengan inform consent, mereka harus rela dan sadar akan terkena
radiasi.
2.
Pasien telah menjalani pemeriksaan pencitraan MIBG (hasil positif), pencitraan
anatomi (CT, MRI, USG) dan identifikasi penanda tumor.
3.
Menggunakan iodium stabil secara oral untuk mencegah ambilan tiroid akibat
iodida bebas. Penggunaan thyroxine atau neomercazole tidak dianjurkan.
Protokol terapi 131I MIBG :
1.
131I MIBG, diberikan melalui infus (lead-shielded infusion system), dengan lambat (45 menit sampai 4
jam) secara intravena.
2.
Pemeriksaan tanda-tanda vital harus dilakukan sebelum dan sesudah diberikan
infus, karena MIBG dapat mengakibatkan tekanan darah tidak stabil.
3. Short-acting
alpha atau beta blockers harus
tersedia untuk penggunaan darurat bila terjadi catecholamine surge selama atau segera setelah pemberian 131I
MIBG. Bila terjadi hipertensi tidak stabil, infus 131I MIBG dapat
dikurangi tetesannya atau dihentikan sementara. Pada beberapa kasus,
tambahan alpha atau beta blockers sangat
esensial.
4.
Diberikan profilaksis anti-muntah,
dimulai pada hari pengobatan hingga 72 jam. Ondansetron adalah
anti-emetik pilihan. Pasien dianjurkan untuk banyak minum, untuk membatasi
beban radiasi ekstra-tumoural, terutama kandung kemih.
5.
Dosis aktivitas pemberian berkisar antara 3,7 GBq (100 mCi) dan 11,2 GBq (300
mCi) atau 18 mCi/kgbb. Dosis dikurangi pada pasien dengan myelosupresi dan
gangguan fungsi ginjal.
6.
Terapi lanjutan dapat diberikan 6 minggu – 14 minggu setelah terapi inisial.
Efek samping yang
perlu diperhatikan :
1.
Mual dan muntah dapat terjadi selama 2 hari pertama setelah pemberian 131
I MIBG.
2.
Myelosupressi sementara biasanya terjadi 4-6 minggu pasca- terapi.
Trombositopenia sering terjadi pada anak
terutama setelah kemoterapi (60%). Depresi sumsum tulang dapat terjadi
pada pasien yang mempunyai gangguan sumsum tulang pada saat terapi 131I
MIBG, mendapat dosis tinggi radiasi seluruh tubuh, dan pasien yang urinnya
terakumulasi lama di ginjal.
3.
Penurunan fungsi ginjal pada pasien yang telah diterapi dengan cisplatin dan
ifosfamid sebelumnya, tetapi jarang terjadi.
4.
Krisis hipertensi yang dapat ditimbulkan oleh pelepasan katekolamin.
5.
Hipotiroid ( setelah blokade tiroid yang inadekuat).
6.
Meskipun sangat jarang terjadi, leukemia dan tumor padat sekunder pernah
dilaporkan, kaitannya dengan lamanya kemoterapi.
Dalam upaya untuk
meningkatkan kelangsungan hidup pasien neuroblastoma dengan metastasis, 131I
MIBG sering dikombinasi dengan
kemoterapi multiagen.
PROSES PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF
1. Dasar pemikiran yang berkaitan dengan pengelolaan dan
penyimpanan limbah radioaktif.
Limbah
radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian fasilitas nuklir, sangat
bervariasi baik jenis, bentuk maupun tingkat radioaktivitasnya. Pada proses
penyimpanan, keselamatan merupakan syarat utama, dan pengelompokannya
disesuaikan dengan konsentrasi, jenis material radioaktif dan kondisi limbah.
Limbah radioaktif dikelompokkan berdasarkan bentuknya, dapat berupa cair, padat
dan gas. Pelepasan paparan radiasi ke lingkungan dikendalikan agar konsentrasi
limbah selalu berada pada nilai ambang batas yang diizinkan. Proses pengolahan
limbah cair dan padat diupayakan dengan cara meminimalkan limbah melalui proses
reduksi volume dan solidifikasi.
2. Pengelolaan limbah radioaktif yang dihasilkan dari
pengoperasian fasilitas nuklir.
1.1.
Pengelolaan limbah PLTN
Dalam
pengoperasian PLTN dihasilkan limbah radioaktif aktivitas rendah dan tinggi.
Limbah radioaktif aktivitas rendah berupa nuklida umur paro pendek, sehingga
dapat disimpan pada fasilitas penyimpanan tanah dangkal (Gambar 2). Sedangkan limbah
radioaktif aktivitas tinggi perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di masing-masing negara.
1.2.
Pengelolaan limbah dari daur bahan bakar
Gambar 3 menunjukkan sumber
penghasil limbah radioaktif pada fasilitas dalam daur bahan bakar.
Limbah
daur bahan bakar dihasilkan dari berbagai fasilitas
dalam lingkup daur bahan bakar nuklir seperti fasilitas pengkayaan uranium, fabrikasi bahan bakar uranium,
termasuk limbah transuranium (TRU) yang dihasilkan dari fasiltas fabrikasi
bahan bakar Mixed Oxide (MOX) dan fasilitas olah ulang.
(1)
Limbah radioaktif aktivitas tinggi.
Limbah
radioaktif aktivitas tinggi (High Level Waste/HLW) diolah dengan cara
pemadatan untuk menjaga kestabilan limbah. Limbah hasil pengolahan disimpan
selama 30-50 tahun untuk pendinginan. Kemudian disimpan pada tanah dalam yang
disebut sebagai penyimpanan lestari.
Sehubungan
dengan HLW, jumlahnya dapat dikurangi dengan
cara transmutasi yang bertujuan untuk mengubah
nuklida umur paro panjang menjadi nuklida lain dengan umur paro pendek.
(2)
Limbah uranium
Uranium
dan hasil belahan dengan waktu paro panjang yang dihasilkan dari proses
konversi, pengayaan, dan fabrikasi uranium
sebagian besar mempunyai aktivitas rendah, sehingga perlu dipertimbangkan cara
penyimpanan yang sesuai.
1.3.
Strategi pengelolaan limbah dari fasilitas radioisotop dan laboratorium
Limbah
dari fasilitas radioisotop dan laboratorium mempunyai aktivitas jenis
radionuklida yang bervariasi.
Pengelolaan
dan pemisahan berbagai jenis radionuklida yang
terkandung dalam limbah tergantung dari bentuk limbah. Berdasarkan umur paro,
radionuklida pemancar beta dan gamma mempunyai umur paro pendek dan aktivitas
rendah. Penyimpanan tanah dangkal merupakan cara yang sederhana untuk menunggu
berkurangnya tingkat radioaktivitas limbah radioaktif. Limbah radioaktif
berumur paro pendek disimpan pada sistem penyimpanan tanah dangkal. Sedangkan
penyimpanan limbah radioaktif aktivitas tinggi perlu mempertimbangkan situasi
dan kondisi penelitian dan pengembangan yang dilakukan di masing-masing negara.
Penyimpanan limbah nuklida pemancar alfa yang
berumur paro panjang mengacu pada limbah uranium serta limbah yang mengandung
TRU.
2.4.
Pengiriman limbah
Pada
fasilitas olah-ulang, jadwal pengiriman limbah aktivitas rendah dan aktivitas
tinggi dilakukan sesuai perjanjian antara penghasil dan pengolah limbah. Limbah
kemudian disimpan pada lokasi yang sesuai dalam jangka waktu tertentu di
fasilitas penyimpanan sementara.
2.5.
Pengelolaan limbah hasil dismantling
Limbah
radioaktif yang berasal dari pembongkaran (dismantling) fasilitas nuklir
merupakan hal yang penting bagi pengelola fasilitas nuklir. Pengelolaan yang
sesuai dan aman merupakan tanggung jawab langsung penghasil limbah. Limbah
dismantling dapat berasal dari PLTN, fasilitas daur bahan bakar, fasilitas
radioisotop dan laboratorium, serta penyimpanannya disesuaikan dengan strategi
pengelolaan.
GAMBAR:
Gambar
1. Pengelolaan limbah
radioaktif yang dihasilkan dari masing-masing fasilitas nuklir
Gambar 2. Pengolahan limbah radioaktif tingkat rendah (LLW) dari PLTN
Gambar 3. Limbah radioaktif dari daur bahan bakar
Gambar 2. Pengolahan limbah radioaktif tingkat rendah (LLW) dari PLTN
Gambar 3. Limbah radioaktif dari daur bahan bakar
Daftar
pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar