Senin, 11 Maret 2019

prinsip radiofarmasi untuk terapi kanker neuroblastoma



"belajar sambil berbagi, jadilah manusia yang paling banyak manfaatnya, in shaa Allah akan Allah selesaikan urusan kita"

by: ranah mewarnai

Saat ini RANAH sedang mengembangkan pengobatan penyakit kanker dengan metode terbaru menggunakan terbaru menggunakan radioisotop. Salah satu senyawa yang dikembangkan yaitu 131-MIRG (131-Metaiodobenzylguanidine) yang diuji bertarget spesifik untuk diagnosis dan terapi kanker neuroblastoma. Namun para dokter masih mempertanyakan terkait keamanan dan efektifitas senyawa yang ditemukan tersebut.
Radionuklida atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. radionuklida mampu memancarkan radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja dibuat oleh manusia dalam reaktor penelitian.

Neuroblastoma adalah jenis kanker langka yang berkembang dari neuroblast atau sel-sel saraf yang belum matang pada anak-anak. Pada kasus neuroblastoma, neuroblast yang seharusnya tumbuh dan berfungsi sebagai sel saraf justru membentuk benjolan berupa tumor padat.
Neuroblastoma lebih sering terjadi pada salah satu kelenjar andrenal di atas ginjal, atau pada jaringan saraf tulang belakang yang membentang dari leher, dada, perut, hingga panggul. Penyakit kanker langka ini dapat menyebar dengan cepat ke organ lain, seperti sumsum tulang, kelenjar getah bening, tulang, hati, serta kulit. Sebagian besar kasus neuroblastoma terjadi pada anak-anak usia 5 tahun ke bawah.
“Sungguh ajaib keadaan orang-orang mukmin, seluruh urusannya adalah kebaikan, dan tidak ada umat lain yang mendapatkan keadaan seperti ini kecuali orang-orang mukmin, Sesungguhnya jika mereka mendapat kesenangan lalu mereka bersyukur, maka ini sebuah kebaikan. Dan jika mereka ditimpa musibah lantas mereka bersabar, maka ini juga sebuah kebaikan”. [HR. Muslim no. hadits 2999; Shahih Ibnu Hibban no. hadits 2896]
“Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”
(Q.S. Al-zumar, 39:9)

“niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. al-Mujadillah, 58:11)
3 cara yang umum dilakukan untuk mengobati kanker adalah: operasi, kemoterapi dan terapi radiasi.
Tumor dapat dibuang secara langsung melalui operasi, terutama pada stadium dini untuk beberapa kanker. Ini biasanya dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk mengurangi jumlah sel kanker pada tubuh.
Kemoterapi adalah penggunaan obat-obatan untuk menghancurkan atau membatasi pertumbuhan sel-sel kanker. Seringkali disebut sebagai “kemo”, ia juga digunakan untuk membersihkan sel-sel kanker yang masih tersisa pada tubuh pasien setelah menjalani operasi atau terapi radiasi. Bila kemoterapi tidak dilakukan, sel-sel kanker yang telah menyebar ke bagian lain dalam tubuh dapat terus berkembang dalam tubuh pasien. Hal ini akan menyebabkan penyakit kambuh kembali pada bagian tubuh yang berbeda dan seringkali muncul sebagai kanker stadium lanjut.
Kemoterapi juga cukup merugikan karena banyak efek samping yang mungkin terjadi, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Ini meliputi hilangnya nafsu makan, mual, timbulnya luka, kelelahan, rambut rontok, diare dan kerusakan saraf.
Terapi radiasi adalah penggunaan radiasi untuk membunuh sel-sel kanker pada area kecil yang ditargetkan. Terapi ini juga dapat digunakan untuk memperkecil tumor sehingga kemudian dapat dibuang melalui operasi.
Pilihan pengobatan yang ideal dipilih berdasarkan lokasi tumor, stadium kanker dan faktor lainnya yang terkait dengan pasien. Dokter dapat merekomendasikan penggunaan strategis dari pengobatan kemoterapi untuk membunuh sel-sel kanker, suatu kombinasi antara kemoterapi dan terapi radiasi untuk mencegah kanker menyebar ke bagian tubuh lainnya atau cara kombinasi yang lain.
Dengan kemajuan di bidang medis belakangan ini, kami menawarkan pengobatan seperti Terapi Radiasi Intensitas Termodulasi (IMRT), yang dapat menargetkan radiasi dosis tinggi langsung pada sel-sel kanker, sementara jaringan sehat di sekitarnya terpapar seminimal mungkin, sehingga menghasilkan pengobatan yang lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit.
Ilmu Kedokteran Nuklir merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mandiri terpisah dari spesialisasi lain. Teknologi ini memanfaatkan sumber radiasi terbuka yang berasal dari disintegrasi inti radionuklida (radioisotop) buatan untuk tujuan diagnostik melalui pemantauan proses fisiologi dan biokimia, pengobatan dan juga penelitian di bidang kedokteran. Pelayanan kedokteran Nuklir merupakan pelayanan yang bersifat multidisipliner, karena dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai disiplin ilmu yaitu ilmu kedokteran, instrumentasi dan radiofarmasi.

Penggunaan dan jenis radiofarmaka dalam bidang Kedokteran Nuklir di Indonesia berkembang secara terusmenerus. Radiofarmaka biasanya diformulasi sebagai sediaan injeksi yang steril dan apirogenik, diberikan kepada pasien untuk tujuan diagnostik atau terapi. Dalam keadaan ini radiofarmaka tidak berbeda dengan obat parental konvensional dalam persyaratan kemurnian, keamanan dan manfaatnya. Dengan demikian, semua produk radiofarmaka harus melalui perlakuan kendali mutu yang ketat. Standar mutu dan standar kemurnian harus ditetapkan dan produk ini harus diuji untuk menjamin kesesuaiannya terhadap standar tersebut.

Perbedaan utama antara radiofarmaka dengan obat konvensional terletak pada umur pakai produk radioaktif yang sangat pendek (singkat) dibandingkan dengan sediaan injeksi konvensional biasanya beberapa tahun. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebut UU Kesehatan merupakan kaidah hukum yang mengatur mengenai hukum kesehatan masyarakat secara umum dan mengatur beberapa aspek dalam hukum kedokteran, pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan dan perbekalan kesehatan.

Untuk mengawasi pemanfaatan tenaga nuklir (termasuk pengawasan penggunaan sumber radiasi di Kedokteran Nuklir) telah diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, oleh karena sifat tenaga nuklir selain dapat memberikan manfaat juga dapat menimbulkan bahaya radiasi sehingga setiap kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir harus diawasi dan diatur oleh Pemerintah. Asas keamanan penggunaan obat adalah memberikan jaminan keamanan dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan obat yang dikonsumsi atau digunakan oleh pasien. Hal ini tersirat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pasal 2 berbunyi: “Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan”.

Dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, pada Pasa 11 ayat (4) berbunyi Pemanfaatan adalah kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir yang meliputi penelitian, pengembangan, penambangan, pembuatan, produksi, pengangkutan, penyimpanan limbah radioaktif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan penggunaan senyawa bertanda radioaktif (radiofarmaka) sebagai obat adalah sejalan dengan upaya pemerintah dalam pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan. Zat radioaktif menurut Undangundang yang sama ayat
(9) pada pasal yang sama menyatakan setiap zat yang memencarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70 kBq/kg (2 nCi/g). Berdasarkan pasal di atas bahwa tujuan akhir dari pemanfaatan radiasi berupa senyawa bertanda radionuklida (radiofarmaka) adalah untuk mensejahterakan rakyat. Hal ini dikarenakan radiofarmaka banyak dimanfaatkan untuk berbagai diagnosa penyakit dan juga untuk pengobatan.

Radiofarmaka yang banyak digunakan untuk tujuan diagnostik di pelayanan Kedokteran Nuklir di seluruh Indonesia adalah farmaka yang bertanda radionuklida yang dihasilkan dari generator 99Mo/99mTc berupa senyawa teknesium99m. Radionuklida ini memiliki sifat fisika dan kimia yang ideal untuk tujuan diagnostik. Tujuan pengobatan atau terapi radiasi internal dengan radiofarmaka adalah untuk kuratif yaitu menghilangkan (eradikasi) tumor pada daerah lokal dan kelenjar getah bening regional, dengan tujuan meningkatkan angka kelangsungan hidup dengan meningkatnya kontrol lokal, terutama dilakukan pada kanker ukuran kecil. Tujuan kedua adalah paliatif yaitu untuk menghilangkan gejala yang ada dengan harapan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Biasanya diberikan pada kanker stadium lanjut, misalnya untuk menghilangkan nyeri pada kanker yang telah menyebar pada tulang. Berbagai jenis radionuklida banyak digunakan untuk terapi antara lain larutan NaI131 untuk terapi karsinoma tiroid atau 89Sr (strontium) untuk terapi paliatif pada metastasis tulang. Sama seperti halnya generator 99Mo/99mTc, larutan NaI131 untuk pengobatan tiroid yang banyak di gunakan dipelayanan kedokteran nuklir disuplai dari PT. BATAN TEKNOLOGI.

Perkembangan radiofarmaka untuk tujuan terapi maupun diagnosis semakin luas ketika kemudian diketahui adanya fenomena baru dalam mekanisme lokalisasi sediaan radiofarmaka di dalam tubuh. Lokalisasi radiofarmaka pada organ target tidak hanya berdasarkan proses fisiologis dan metabolisme biasa, tetapi beberapa jenis anomali organ dapat memberikan ”sinyal” yang dapat menarik, mengakumulasi dan menahan
secara spesifik senyawa substrat tertentu, sehingga radiofarmaka dengan struktur substrat tersebut akan terlokalisasi pada organ target secara spesifik pula. Tulisan ini mengelompokkan secara sederhana mekanisme lokalisasi radiofarmaka pada organ target ke dalam 2 kelompok, yaitu mekanisme non-spesifik yaitu mengikuti fisiologis dan metabolisme secara normal, dan mekanisme spesifik yang dapat dibedakan lagi menjadi mekanisme spesifik proses yang berbasis pada reaksi biokimia yang karakteristik dan mekanisme spesifik penyakit yang berbasis pada karakteritika penyakit yang tertentu.

Seiring dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan di bidang kedokteran nuklir, berbagai macam sediaan radiofarmaka produk domestik juga berhasil dibuat dan digunakan untuk tujuan diagnosis maupun terapi. Banyak yang telah dimanfaatkan sesuai peruntukannya, dan beberapa yang lain masih dalam taraf uji klinis atau uji preklinis sebelum dapat di lepas secara luas di lingkungan pihak pengguna. Perkembangan radiofarmaka semakin luas ketika kemudian diketahui adanya fenomena baru dalam mekanisme akumulasi sediaan radiofarmaka di dalam tubuh. Mekanisme akumulasi radiofarmaka ternyata tidak hanya melalui proses metabolisme dan fisiologi normal dengan mengikuti sistem aliran darah, tetapi juga dapat melalui reaksi biokimia spesifik antara substrat radiofarmaka dengan sistem biomolekuler pada jaringan target yang mengalami kanker atau inflamasi. Reaksi biokimia spesifik ini dapat berupa, misalnya, reaksi imunologi antigen – antibodi, reaksi enzim – substrat ataupun reaksi ligan – reseptor. Beberapa jenis anomali organ dapat memberikan ”sinyal” yang dapat secara spesifik menarik, menangkap dan menahan secara spesifik senyawa substrat tertentu, sehingga radiofarmaka dengan struktur substrat tersebut akan terlokalisasi pada anomali organ secara spesifik pula.

Dengan adanya fenomena akumulasi yang spesifik ini, maka tindakan terapi radiomedik dapat dilakukan dengan lebih akurat karena potensi penyebaran radiofarmaka pada jaringan non-target dapat lebih diminimalkan. Di sisi lain untuk kepentingan diagnosis juga terjadi perkembangan paradigma diagnosis yang signifikan, dari yang paling sederhana untuk penyidikan morfologi dan anatomi organ, fungsi fisiologis jaringan, studi perfusi dan arteri koroner sampai fenomena molekuler biokimia dan immunologi.

LOKALISASI RADIOFARMAKA
Yang dimaksud dengan lokalisasi radiofarmaka adalah pengumpulan atau akumulasi radiofarmaka di dalam organ tubuh tertentu setelah radiofarmaka tersebut dimasukkan ke dalam tubuh, baik secara oral maupun injeksi. Pemahaman mengenai fenomena dan mekanisme lokalisasi ini diperlukan agar efek keradioaktifan sediaan radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh dapat dibatasi hanya pada jaringan atau organ tubuh yang dikehendaki saja.

Mekanisme lokalisasi memberikan konsekuensi akumulasi atau penangkapan radiofarmaka dalam organ dapat terjadi dalam 3 kemungkinan berikut ini :
1. Radiofarmaka terakumulasi pada jaringan target normal
Dalam hal jaringan target normal tidak dipengaruhi oleh keadaan patologis yang tertentu, maka radiofarmaka yang mengalami metabolism atau proses fisiologis normal akan terakumulasi pada jaringan target tertentu secara otomatis mengikuti proses fisiologis yang semestinya. Jaringan target yang mengalami gangguan atau anomali dari keadaan normal tidak dapat mengakumulasi radiofarmaka sebagaimana mestinya. Di sisi lain, bila jaringan target normal dipengaruhi oleh keadaan patologis (disekitarnya) maka keadaan patologis tersebut menimbulkan reaksi internal dalam jaringan targert normal sebagai upaya tubuh untuk melindungi diri dari pengaruh keadaan patologis tersebut. Reaksi internal tersebut mengakibatkan akumulasi yang lebih kuat pada jaringan target normal.


MEKANISME SPESIFIK PROSES
Mekanisme spesifik proses terjadi karena molekul senyawa radiofarmaka mempunyai struktur dengan gugus aktif tertentu yang dapat berikatan secara spesifik dengan molekul penyusun atau yang terikat pada permukaan jaringan target. Pada Gambar dibawah ditunjukkan ilustrasi fenomena lokalisasi radiofarmaka berbasis mekanisme spesifik proses ini.
Pada permukaan jaringan target yang mengalami kanker atau inflamasi terbentuk membran dengan struktur gugus aktif yang spesifik dapat membentuk ikatan dengan gugus aktif spesifik yang sesuai yang ada pada struktur senyawa substrat radiofarmaka. Radiofarmaka semacam ini sering disebut sebagai radiofarmaka molekul target terarah. Radionuklida yang digunakan dapat berupa radionuklida non-metal (misalnya 11C, 18F, 123I, 131I, 211At), dapat juga berupa radionuklida metal (misalnya 67Cu, 90Y, 99mTc, 177Lu, 188Re). Seringkali substrat yang berupa makromolekul (seperti protein) tidak mudah untuk berikatan dengan radiometal, sehingga diperlukan sejenis senyawa ligan gugus fungsi ganda (bifunctional chelate) dan/atau senyawa sejenis linker yang berfungsi sebagai jembatan penghubung yang mengikat radionuklida dan molekul substrat (Gambar diatas).

Mekanisme lokalisasi spesifik proses ini terjadi melalui interaksi immunologi atau reaksi biokimia antara molekul substrat radiofarmaka dengan struktur kimia membrane jaringan target yang patologis, misalnya reaksi pembentukan komplek antigen – antibody, enzim-substrat, ligan – reseptor, yang tidak larut dan kemudian mengendap pada membrane jaringan patologis. Berikut ini diberikan beberapa contohnya.
a). Radiofarmaka 111In-Oncoscint mempunyai struktur monoklonal antibody yang spesifik untuk antigen TAG-72.3, suatu glikoprotein pada kanker kolorektal dan kanker ovarium. Karena itu radiofarmaka ini digunakan sebagai radiofarmaka molekul target terarah untuk kedua jenis kanker tersebut [19,20].
b). Radiofarmaka 111In-Oktreotida mempunyai basis struktur somatostatin yang berikatan secara spesifik dengan reseptor tumor neuroendokrin digunakan untuk diagnosis adanya kanker neuroendokrin tersebut [9,13, 22].
c). Radiofarmaka 111In/90Y-Ibritumomab-tiuxetan dan 131I-Tositumomab mengandung struktur monoklonal murine IgG antibody yang berikatan secara spesifik dengan reseptor CD20 pada sel tumor lymphoma-non-Hodgkin, sehingga banyak digunakan untuk diagnosis atau terapi tumor jenis tersebut [9].
d). Radiofarmaka 123I-Ioflupane mempunyai struktur kimia turunan dari kokain dan berikatan secara spesifik dengan transporter dopamine pada
jaringan striatum (caudate nuclei and putamen). Penurunan densitas dopamine pada jaringan tersebut, misalnya pada kasus penyakit Parkinson, akan menghasilkan penurunan atau pelemahan citra dibandingkan dengan keadaan normal [9].
d). Tahapan uji klinis beberapa jenis radiofarmaka baru yang berdasarkan mekanisme lokalisasi pembentukan komplek ligan - reseptor telah dan sedang dilakukan di beberapa negara untuk diagnosis penyakit Alzheimer (berkaitan dengan anomali pada otak). Beberapa jenis radiofarmaka memberikan prospek baik karena menunjukkan pengikatan yang spesifik terhadap reseptor -amiloid pada membrane otak yang merupakan indikasi positif penyakit Alzheimir, antara lain [9] 18F-Florbetapir (AV-45), 11C-PiB (Pittsburg-B), 18F-Flutemetamol (Fluoro-PiB).

MEKANISME SPESIFIK PENYAKIT
Fenomena lokalisasi dengan mekanisme spesifik penyakit terutama terjadi pada penyakit kanker, infeksi jaringan, atau peradangan nonbacterial. Akumulasi melalui mekanisme spesifik penyakit dapat terjadi karena :

1.      Organ patologis mengalami perubahan karakter metabolisme yang menyebabkan organ patologis secara spesifik menangkap radiofarmaka lebih kuat (atau lebih banyak) dari pada jaringan yang normal
2.      Senyawa substrat radiofarmaka merupakan indikator prognosis penyakit yang tertentu, misalnya beberapa jenis kanker mempunyai indicator prognosis yang spesifik, yang berbeda dengan jenis kanker yang lain.
3.      Peningkatan permiabilitas pembuluh darah kapiler pada jaringan patologis yang meningkatkan proses transport substrat radiofarmaka ke dalam sel/jaringan patologis tersebut.
Berikut ini diberikan beberapa contoh lokalisasi melalui mekanisme spesifik penyakit :
a). Kanker tulang metastasis. Jaringan tulang yang mengalami metastasis
kanker mengalami peningkatan aktifitas osteoblastik yang menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi senyawa radiofarmaka fosfat/posponat seperti misalnya 186Re-HEDP, 153Sm-EDTMP, 99mTc-MDP, sehingga daerah metastasis terlihat sebagai hot spot area.
b). Senyawa sestamibi merupakan faktor prognostic kanker payudara.
Pemberian radiofarmaka 99mTc-Sestamibi pada pasien kanker payudara akan memberikan hot spot area pada daerah kanker [15,16]. Mekanisme lokalisasi 9o9mTc-Sestamibi pada kanker payudara ini berbeda dengan lokalisasi 99mTc-Sestamibi pada jenis kanker lainnya. Dalam hal yang terakhir ini, radiofarmaka 99mTc-Sestamibi, yang secara normal akan terakumulasi dalam mitokondria, tertangkap lebih banyak pada sel kanker dari pada sel normal sebab sel kanker memiliki mitokondria yang jauh lebih banyak dibandingkan sel normal.
c). Pada jaringan yang mengalami inflamasi (radang) cenderung menunjukkan karakter peningkatan permiabilitas pembuluh kapiler terhadap senyawa makromolekul. Hal ini mengakibatkan akumulasi radiofarmaka makromolekul pada jaringan yang mengalami peradangan. Berbagai senyawa makromolekul (albumin, fibrinogen, atau gamma globulin) bertanda 67Ga, 111In atau 99mTc, banyak digunakan untuk deteksi inflamasi jaringan.

Survey secara komprehensif pada epidemiologi tumor neuroendokrin  berdasarkan National Cancer Institute di Amerika menunjukkan adanya peningkatan insiden tumor neuroendokrin (NET).
Tumor neuroendokrin (NET) merupakan neoplasma yang muncul dari sel-sel endokrin (hormon) dan sistem syaraf. Kebanyakan jinak, tetapi juga ada yang ganas. Sering terjadi di usus, yang disebut dengan tumor karsinoid, tetapi dapat ditemukan di pankreas, paru-paru dan di seluruh tubuh. NET pada usus halus pertama kali dibedakan dengan tumor lain pada tahun 1907 dan diberi nama tumor karsinoid karena pertumbuhannya yang lambat dan dianggap “seperti kanker”.
Metaiodobenzylguanidine (MIBG) dikembangkan di universitas Michigan pada tahun 1970an sebagai agen pencitraan adrenal medulare.  MIBG sangat baik diserap oleh tumor yang memproduksi katekolamin, dan kemudian telah digunakan terutama untuk deteksi pheochromocytoma, neuroblastoma, dan neuroendokrin tumor lainnya.
Meskipun perkembangan metode lain seperti somatostatin reseptor (SSTR), 18F-FDG PET dan analog MIBG lainnya sangatlah pesat, MIBG diharapkan masih merupakan salah satu pilihan yang dapat digunakan dalam pencitraan dan terapi neuroblastoma.
MIBG
Sejarah
Metaiodobenzylguanidine (MIBG) dikembangkan di universitas Michigan pada tahun 1970an sebagai agen pencitraan adrenal medulare. MIBG sangat baik diserap oleh tumor yang memproduksi katekolamin, dan kemudian digunakan untuk deteksi pheochromocytoma, neuroblastoma, dan neuroendokrin tumor lainnya.
Pada pengembangan awal, MIBG ditemukan berkonsentrasi pada organ-organ yang memiliki persarafan simpatis,terutama  hati. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa uptake MIBG jantung sangat tergantung pada viabilitas dan aktifitas syaraf simpatik.
Kimia dan pelabelan MIBG
Berdasarkan studi selama ini, MIBG berhubungan dengan butiran chromaffin adrenal, terutama guanetidine. Guanetidine, tidak bisa dengan mudah diberi label dengan radionuklida pada pencitraan eksternal jantung. Sehingga, analog guanetidine disintesis yang memungkinkan mudah pelabelan dengan radionuklida. Substitusi dari cincin aromatik untuk cincin heterosiklik jenuh dari guanethidine memungkinkan untuk pelabelan dengan senyawa yodium. Satu senyawa tersebut adalah benzylguanidine, yang mempertahankan bagian guanidin dari guanethidine.
MIBG merupakan benzylguanidine berlabel dalam meta-posisi. Senyawa ini memiliki kemiripan struktural dengan norepinefrin. Prosedur yang paling umum untuk radiolabeling MIBG adalah metode pertukaran yodium panas. Nonradioactive MIBG sulfat (MIBG2SO4, berat molekul 648) dipanaskan dengan adanya amonium sulfat dan radioiodine (natrium iodida), sehingga terjadi pertukaran yodium stabil untuk radioiodine. Pencitraan dengan menggunakan 123I dilabel dengan  MIBG. 
MIBG merupakan kombinasi antara kelompok bretylium dan kelompok guanidine. Berkembang sejak awal tahun 1980 untuk melihat tumor  adrenal medulare.
Aralkylguanidine ini secara struktur analog dengan norepinefrin dan guanethidine, dan sering disebut dengan “false” neurotransmitter. Struktur MIBG menyerupai norepineprin, yaitu dapat memasuki sel-sel neuroendokrin melalui mekanisme uptake aktif dan disimpan di pabrik neurosekret, sehingga konsentrasi tertentu berbeda dengan sel-sel jaringan lainnya. Mekanisme  transpor MIBG hampir sama dengan norepinefrin. Dari sitoplasma intracelluler, MIBG ditransfer ke vesikel penyimpanan katekolamin (neurosecretory vesicles) melalui norepinephrine transporter yang di mediasi oleh pompa proton ATPase-dependent.  Pada dosis yang lebih tinggi dapat terjadi difusi pasif. MIBG yang telah masuk ke dalam sitoplasma sel tetap berada dalam bentuk bebas. Retensi MIBG merupakan akibat dari ambilan ulang perunut yang tadinya terlepas dari sel. Untuk pencitraan, MIBG  ini dapat dilabel dengan 131I dan 123I, sedangkan untuk terapi menggunakan 131I.
Mekanisme norepinefrin dan uptake MIBG
Uptake MIBG pada berbagai jaringan mirip dengan norepinefrin. Mekanisme uptake norepinefrin telah disempurnakan selama beberapa dekade terakhir, dan tampaknya bahwa protein transport membran plasma dan transporter norepinefrin, memediasi serapan spesifik norepinefrin oleh jaringan adrenergik. Setelah masuk ke sitoplasma, transporter vaskuler monoamine, terletak di membrane vesikel, menghantarkan norepinefin ke penyimpanan vesikel adrenergik.
123I dan 131I
125I  tidak digunakan karena energi sinar x dan emisi sinar gamanya yang rendah (27 sampai 35 keV), tidak menembus jaringan dengan baik, dan kamera gama kurang baik untuk pencitraan dengan energi yang rendah. Dua isotop iodium yaitu 123I dan 131I secara klinis digunakan untuk pencitraan. 123I memancarkan sinar gamma murni dengan waktu paruh 13.2 jam, memancarkan energi photon 159 keV dan meluruh dengan memancarkan elektron menjadi tellurium-123 (123Te). Emisi proton 28 keV (92%) dan 159 keV (84%) sinar gamma, sesuaixx dengan energi terbaik gamma kamera (100-200 Kev). Oleh karena itu 123I merupakan radioisotop pilihan karena lebih sensitif dan hasil pencitraan lebih baik dibandingkan 131I.14 123I biasanya diproduksi oleh siklotron dengan bombardment antimony-121 (121Sb) atau tellurium-122 atau 124 (122Te atau 124Te). Metode lain dengan bombard iodium-127 (127I) untuk memproduksi 123Xe dan membiarkannya meluruh menjadi 123I.
131I merupakan isotop yang kurang memuaskan untuk pencitraan tiroid karena energy photon yang relative tinggi. Namun, 131I ini banyak tersedia, relatif murah dan memiliki waktu paruh yang panjang. 131I mempunyai waktu paruh 8.06 hari dan meluruh dengan memancarkan partikel  emisi beta menjadi stabil membentuk 131Xe. Rata-rata enegi betanya 192 keV (90%). 
Sembilan puluh persen emisi radiasi pengion 131I berasal dari sinar beta, memiliki jarak radiasi 0.5 mm. MIBG 131I digunakan untuk terapi, karena merupakan β emitter dan memiliki waktu paruh lebih panjang yaitu 8 hari. Selain itu I-131 mempunyai LET (linear energy transfer) β emitter rendah. Dengan demikian mempunyai efek biologi lebih panjang sehingga dapat mengakibatkan kematian sel. MIBG secara normal ditangkap terutama oleh hati, uptake terlihat lebih rendah pada limpa, paru-paru, kelenjar saliva, otot skeletal dan miokardium. Pada bayi, uptake pada miokard mungkin sangat tinggi.
Saat iodium di masukkan secara oral sebagai ion iodium, lalu di absorbs dari traktus gastrointestinal dan didistribusikan kedalam cairan ekstraseluler. Sama dengan 99mTc pertechnetate, 131I terkontaminasi di kelenjar ludah, tiroid dan mukossa lambung. 131I difiltrasi di glomerulus, di ekskresi di urin sebanyak kurang lebih 35% sampai 75% dalam 24 jam, walaupun ekskresi fekal juga terjadi. Iodium di tangkap dan di organifikasi di kelenjar tiroid normal mempunyai waktu paruh efektif sektiar 7 hari.
Distribusi fisiologi 131I/123I MIBG
Uptake radiofarmaka MIBG pada berbagai organ tergantung ekskresi katekolamin dan atau persyarafan adrenergik. Setelah injeksi intravenosa, 50 % radiofarmaka yang masuk akan masuk ke urin dalam waktu 24 jam, dan 70%-90% sisanya akan masuk ke urin dalam waktu 48 jam. Pada saat MIBG diekskresikan di dalam urin, kandung kemih dan saluran kencing menunjukkan aktivitas yang tinggi. MIBG normalnya tertangkap di liver, sebagian di spleen, paru-paru, glandula saliva, tiroid otot dan jantung. Glandula adrenal normalnya tidak terlihat, tetapi   uptake samar dapat terlihat 48-72 jam setelah injeksi hingga 15% dari kasus. MIBG dapat terakumulasi di dalam mukosa nasal, paru-paru, kandung kemih, colon, dan uterus. Iodium bebas di dalam darah dapat dikarenakan beberapa penyerapan di dalam sistem digestif, dan juga di tiroid (jika tidak diblok). Tulang normalnya tidak terlihat, ini menjadi penting disaat penangkapan di tulang (fokal atau difus) terjadi, mengindikasikan keterlibatan sum-sum tulang dan atau metastasis tulang. Beberapa efek samping MIBG harus diperhatikan setelah penyuntikan seperti takikardi, pucat,  muntah,  dan nyeri abdomen. 
Persiapan sebelum pencitraan
1)      Persiapan pasien
Teknologis, perawat atau dokter sebaiknya memberi tahu orang tua pasien atau pasiennya penjelasan tentang persiapan yang benar dan pemeriksaan skintigrafi yang jelas. Pastikan pasien mendapatkan hidrasi yang cukup untuk memfasilitasi ekskresi radiofarmaka. Pasien berhenti mengonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi penangkapan MIBG oleh tumor. 
2)      Thyroid blockade
Saat menggunakan 131I-MIBG, blokade tiroid diperoleh dengan pemberian oral harian jenuh kalium yodium 3 kali sehari untuk total 5 hari dimulai sebelum gpemberian radiofarmaka. Bila menggunakan 123I-MIBG maka pemberian oral kalium iodium jenuh dapat dikurangi menjadi 3 hari, 3 kali sehari. Pasien yang alergi dengan iodium dapat digunakan potassium perchlorate (3 kali sehari) dimulai 1 hari sebelum injeksi dan diteruskan 3 hari setelah pemberian 123I-MIBG.
3)      Interaksi obat
Banyak obat yang dikenal untuk mengganggu penyerapan dan  atau penyimpanan vesikular dari 131I / 123I MIBG. Perawatan harus dilakukan untuk memastikan bahwa obat tersebut dihentikan (jika mungkin) untuk waktu yang cukup sebelum pencitraan. tentu saja hal ini harus diputuskan dengan konsultasi dokter merujuk yang mampu mengevaluasi kondisi pasien dan mungkin dapat di tunda pencitraannya. Daftar berikut termasuk beberapa obat yang paling penting yang dapat mempengaruhi hasil pencitraan MIBG.
Selain obat-obatan di atas, pasien juga harus menghindari makanan yang mengandung vanillin dan katekolamin seperti coklat dan blue-veined cheese yang akan mengganggu uptake MIBG (depletion of granules).
4)      Sebelum injeksi
Dokter kedokteran nuklir harus mempertimbangkan informasi yang dapat berguna untuk menafsirkan gambar pencitraan, seperti :
         Riwayat kecurigaan adanya tumor primer
         Gangguan asupan obat
         Ada atau tidaknya gejala
         Hasil uji laboratorium
         Hasil pencitraan lain
         Hasil biopsy, bedah, kemoterapi dan radiasi
5)      Injeksi
MIBG diberikan berlahan-lahan secara injeksi intravena (dalam waktu 5 menit) di vena perifer. Penyuntikan melalui vena sentral harus dihindari karena akan menimbulkan artefak pada pencitraan dan dapat menimbulkan efek samping. Dosis aktivitas untuk orang dewasa 131I-MIBG 40-80 MBq (1.2-2.2 mCi); untuk 123I-MIBG 400 MBq (10.8 mCi). Dosis untuk anak-anak harus dihitung berdasarkan dosis referensi  orang dewasa menurut berat badan yang diusulkan oleh EANM Paediatric Task Group. Untuk batas minimum dan maksimum dosis yang dianjurkan pada anak-anak menurut pedoman EANM Paediatric Task Group (aktivitas minimum 80 MBq untuk 123I MIBG dan 35 MBq untuk 131I-MIBG; aktivitas maksimum 400 MBq  untuk 123I MIBG dan 80 MBq untuk 131I-MIBG.
6)      Pasca-injeksi
Pasien sebaiknya minum air putih dalam jumlah besar setelah injeksi MIBG.
 Pencitraan 123I/131I MIBG
Pemeriksaan MIBG dilakukan untuk :
a)      mengevaluasi pasien yang mungkin akan diterapi menggunakan 131I MIBG pada pasien tumor neuroedokrin.
b)      memberikan informasi sebelum dilakukan terapi.
Menggunakan 123I MIBG pencitraan dilakukan 20-24 jam setelah injeksi.
Pencitraan tertunda (dalam 48 jam) berguna dalam kasus-kasus penemuan equivokal. Dengan 131I MIBG, pencitraan dilakukan biasanya dalam 48 jam pasca-injeksi dan dapat dilanjutkan pada hari ke-3 dan seeterusnya.
Metode Pencitraan
1.      Menggunakan gamma kamera dengan satu detektor atau lebih , dengan lapang pandang yang luas untuk memperoleh pencitraan  planar dan/atau SPECT. Pencitraan fusion with SPET/CT sistem hybrid dapat meningkatkan akurasi diagnostik.
2.      Kollimator yang digunakan :
-          131I MIBG : high-energy, parallel-hole
-          123I MIBG : low- energy, high-resolution
3.      Ukuran piksel sekitar 2 mm memerlukan matriks 256 × 256  atau 128 × 128.
Interpretasi :
Untuk mengevaluasi pencitraan MIBG, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
1.      Riwayat klinis yang menyebabkan pasien dirujuk untuk pencitraan MIBG.
2.      Gejala dan sindrom.
3.      Pemeriksaan sebelumnya seperti pemeriksaan klinis, biokimia dan morfologi.
4.      Peningkatan uptake fisiologis difus (kelenjar adrenal hiperplastik setelah adrenalectomy kontralateral) dan uptake fisiologis fokal (di saluran kemih atau usus).
5.      Uptake patologis  sebagai tumor primer dan metastase di kelenjar getah bening, hati, tulang dan sumsum tulang.
6.      Penyebab negatif palsu (ukuran lesi, ekspresi norephineprine rendah, metastase SSP, tumor kecil disumsum tulang, ambilan fisiologis yang menutupi lesi kanker, pengaruh obat-obatan).
7.      Penyebab  positif palsu (artefak, dan uptake fisiologis).
  Terapi  131I MIBG
MIBG yang dilabel dengan 131I dapat digunakan sebagai agen metabolik radioterapi pada tumor neuroectodermal. 131I adalah radionuklida beta-emitting dengan waktu paruh 8,04 hari, mempunyai sinar gamma 364 keV  dan partikel beta dengan energi maksimum 0,61 MeV dan energi rata-rata 0,192 MeV.
Indikasi Terapi 131I MIBG :
1.      Pasien phaeochromocytoma yang tidak dapat di operasi.
2.      Pasien paraganglioma yang tidak dapat di operasi.
3.      Pasien carcinoid tumor yang tidak dapat di operasi.
4.      Stage III atau IV neuroblastoma.
5.      Metastatis atau rekurensi kanker tiroid medular.
Kontra-indikasi :
Kontra-indikasi absolut :
1.       Kehamilan; menyusui.
2.       Harapan hidup kurang dari 3 bulan, kecuali kasus dengan nyeri tulang yang hebat.
3.       Insufisiensi ginjal.
Kontra-indikasi relatif :
1.      Pasien tidak bisa diisolasi karena alasan risiko medis.
2.      Inkontinensia urin.
3.      Glomerular filtrasi ginjal kurang dari 30 ml / menit.
4.      Toksisitas darah dan / atau ginjal karena pengobatan sebelumnya.
5.      Myelosupresi:      - Sel darah putih kurang dari 3.0 × 109 / l
                                    -    Trombosit kurang dari 100 × 109 / l
Apabila jumlah sel darah putih dan trombosit rendah, adanya invasi sumsum tulang secara masif dan gangguan fungsi ginjal, aktivitas dosis harus dikurangi.
Persiapan pasien :
1.       Inform consent
Pada anak-anak yang akan menjalani terapi 131I MIBG, harus ada pengasuh yang akan berperan dalam perawatan. Dengan inform consent, mereka harus rela dan sadar akan terkena radiasi.
2.      Pasien telah menjalani pemeriksaan pencitraan MIBG (hasil positif), pencitraan anatomi (CT, MRI, USG) dan identifikasi penanda tumor.
3.      Menggunakan iodium stabil secara oral untuk mencegah ambilan tiroid akibat iodida bebas. Penggunaan thyroxine atau neomercazole tidak dianjurkan.
 Protokol terapi  131I MIBG :
1.      131I MIBG, diberikan melalui infus (lead-shielded infusion system), dengan lambat (45 menit sampai 4 jam) secara intravena.
2.      Pemeriksaan tanda-tanda vital harus dilakukan sebelum dan sesudah diberikan infus, karena MIBG dapat mengakibatkan tekanan darah tidak stabil.
3.       Short-acting alpha atau beta blockers harus tersedia untuk penggunaan darurat bila terjadi catecholamine surge selama atau segera setelah pemberian 131I MIBG. Bila terjadi hipertensi tidak stabil, infus 131I MIBG dapat dikurangi tetesannya atau dihentikan sementara. Pada beberapa kasus, tambahan  alpha atau beta blockers sangat esensial.
4.      Diberikan profilaksis anti-muntah,  dimulai pada hari pengobatan hingga 72 jam. Ondansetron adalah anti-emetik pilihan. Pasien dianjurkan untuk banyak minum, untuk membatasi beban radiasi ekstra-tumoural, terutama kandung kemih.
5.      Dosis aktivitas pemberian berkisar antara 3,7 GBq (100 mCi) dan 11,2 GBq (300 mCi) atau 18 mCi/kgbb. Dosis dikurangi pada pasien dengan myelosupresi dan gangguan fungsi ginjal.
6.      Terapi lanjutan dapat diberikan 6 minggu – 14 minggu setelah terapi inisial.
Efek samping yang perlu diperhatikan :
1.      Mual dan muntah dapat terjadi selama 2 hari pertama setelah pemberian 131 I MIBG.
2.      Myelosupressi sementara biasanya terjadi 4-6 minggu pasca- terapi. Trombositopenia sering terjadi pada anak  terutama setelah kemoterapi (60%). Depresi sumsum tulang dapat terjadi pada pasien yang mempunyai gangguan sumsum tulang pada saat terapi 131I MIBG, mendapat dosis tinggi radiasi seluruh tubuh, dan pasien yang urinnya terakumulasi lama di ginjal.
3.      Penurunan fungsi ginjal pada pasien yang telah diterapi dengan cisplatin dan ifosfamid sebelumnya, tetapi jarang terjadi.
4.      Krisis hipertensi yang dapat ditimbulkan oleh pelepasan katekolamin.
5.      Hipotiroid ( setelah blokade tiroid yang inadekuat).
6.      Meskipun sangat jarang terjadi, leukemia dan tumor padat sekunder pernah dilaporkan, kaitannya dengan lamanya kemoterapi.
Dalam upaya untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien neuroblastoma dengan metastasis, 131I MIBG  sering dikombinasi dengan kemoterapi multiagen.
PROSES PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF
1. Dasar pemikiran yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyimpanan limbah radioaktif.
Limbah radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian fasilitas nuklir, sangat bervariasi baik jenis, bentuk maupun tingkat radioaktivitasnya. Pada proses penyimpanan, keselamatan merupakan syarat utama, dan pengelompokannya disesuaikan dengan konsentrasi, jenis material radioaktif dan kondisi limbah. Limbah radioaktif dikelompokkan berdasarkan bentuknya, dapat berupa cair, padat dan gas. Pelepasan paparan radiasi ke lingkungan dikendalikan agar konsentrasi limbah selalu berada pada nilai ambang batas yang diizinkan. Proses pengolahan limbah cair dan padat diupayakan dengan cara meminimalkan limbah melalui proses reduksi volume dan solidifikasi.
2. Pengelolaan limbah radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian fasilitas nuklir.
Pengelolaan limbah radioaktif ditunjukkan pada Gambar 1.
1.1. Pengelolaan limbah PLTN
Dalam pengoperasian PLTN dihasilkan limbah radioaktif aktivitas rendah dan tinggi. Limbah radioaktif aktivitas rendah berupa nuklida umur paro pendek, sehingga dapat disimpan pada fasilitas penyimpanan tanah dangkal (Gambar 2). Sedangkan limbah radioaktif aktivitas tinggi perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi penelitian dan pengembangan yang dilakukan di masing-masing negara.
1.2. Pengelolaan limbah dari daur bahan bakar
Gambar 3 menunjukkan sumber penghasil limbah radioaktif pada fasilitas dalam daur bahan bakar.
Limbah daur bahan bakar dihasilkan dari berbagai fasilitas dalam lingkup daur bahan bakar nuklir seperti fasilitas pengkayaan uranium, fabrikasi bahan bakar uranium, termasuk limbah transuranium (TRU) yang dihasilkan dari fasiltas fabrikasi bahan bakar Mixed Oxide (MOX) dan fasilitas olah ulang.
(1) Limbah radioaktif aktivitas tinggi.
Limbah radioaktif aktivitas tinggi (High Level Waste/HLW) diolah dengan cara pemadatan untuk menjaga kestabilan limbah. Limbah hasil pengolahan disimpan selama 30-50 tahun untuk pendinginan. Kemudian disimpan pada tanah dalam yang disebut sebagai penyimpanan lestari.
Sehubungan dengan HLW, jumlahnya dapat dikurangi dengan cara transmutasi yang bertujuan untuk mengubah nuklida umur paro panjang menjadi nuklida lain dengan umur paro pendek.
(2) Limbah uranium
Uranium dan hasil belahan dengan waktu paro panjang yang dihasilkan dari proses konversi, pengayaan, dan fabrikasi uranium sebagian besar mempunyai aktivitas rendah, sehingga perlu dipertimbangkan cara penyimpanan yang sesuai.
1.3. Strategi pengelolaan limbah dari fasilitas radioisotop dan laboratorium
Limbah dari fasilitas radioisotop dan laboratorium mempunyai aktivitas jenis radionuklida yang bervariasi.
Pengelolaan dan pemisahan berbagai jenis radionuklida yang terkandung dalam limbah tergantung dari bentuk limbah. Berdasarkan umur paro, radionuklida pemancar beta dan gamma mempunyai umur paro pendek dan aktivitas rendah. Penyimpanan tanah dangkal merupakan cara yang sederhana untuk menunggu berkurangnya tingkat radioaktivitas limbah radioaktif. Limbah radioaktif berumur paro pendek disimpan pada sistem penyimpanan tanah dangkal. Sedangkan penyimpanan limbah radioaktif aktivitas tinggi perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi penelitian dan pengembangan yang dilakukan di masing-masing negara. Penyimpanan limbah nuklida pemancar alfa yang berumur paro panjang mengacu pada limbah uranium serta limbah yang mengandung TRU.
2.4. Pengiriman limbah
Pada fasilitas olah-ulang, jadwal pengiriman limbah aktivitas rendah dan aktivitas tinggi dilakukan sesuai perjanjian antara penghasil dan pengolah limbah. Limbah kemudian disimpan pada lokasi yang sesuai dalam jangka waktu tertentu di fasilitas penyimpanan sementara.
2.5. Pengelolaan limbah hasil dismantling
Limbah radioaktif yang berasal dari pembongkaran (dismantling) fasilitas nuklir merupakan hal yang penting bagi pengelola fasilitas nuklir. Pengelolaan yang sesuai dan aman merupakan tanggung jawab langsung penghasil limbah. Limbah dismantling dapat berasal dari PLTN, fasilitas daur bahan bakar, fasilitas radioisotop dan laboratorium, serta penyimpanannya disesuaikan dengan strategi pengelolaan.
GAMBAR:



Daftar pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar